Manfaat Ilmu Syar'i



“Sungguh Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa': 48] 


·  Kalamullah
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun." (Fathir: 28)
·  Sabda Nabi
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut  ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan Al Imam Al Albani)
·  Nasehat Salaf
"Jika engkau bisa, jadilah seorang ulama. Jika engkau tidak mampu, maka jadilah penuntut ilmu. Bila engkau tidak bisa menjadi seorang penuntut ilmu, maka cintailah mereka. Dan jika kau tidak mencintai mereka, janganlah engkau benci mereka." (Umar bin Abdul Aziz)

·  Firman Allah Azza wa Jalla :
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah : 24)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam menafsirkan ayat  ini :
“Dengan kesabaran kamu bisa meninggalkan syahwat dan dengan keyakinan kamu bisa meninggalkan syubhat.”
==========================================================
  • Makna dan Keutamaan Kalimat Tauhid
Oleh: Abu Muawiah Al-Makassari
Pentingnya Mengetahui Makna Kalimat Tauhid
Mengetahui makna kalimat yang mulia ini merupakan salah satu prinsip yang sangat mendasar pada akidah seorang muslim. Bagaimana tidak, karena jika seseorang mengucapkan kalimat tauhid ini maka dia tidak akan bisa melaksanakan konsekuensinya sebelum mengetahui apa maknanya, serta dia tidak akan mendapatkan berbagai keutamaan kalimat yang mulia ini sampai dia mengetahui apa maknanya, mengamalkannya dan meninggal di atasnya. Allah berfirman :
“Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa`at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa`at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dalam keadaan mereka mengetahui(nya)”. (QS. Az-Zukhruf: 86)
Dan Rasulullah telah menegaskan dalam hadits Utsman bin Affan :
“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengatahui bahwa sesungguhnya tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah maka akan masuk surga”. (HR. Muslim no. 26)
Penjabaran Makna Kalimat Tauhid
Oleh karena itu, berikut penjelasan secara singkat mengenai makna kalimat tauhid yang mulia ini :
Laa Ilaaha Illallah adalah kalimat yang terdiri dari 4 kata, yaitu : kata (laa), kata (Ilaha), kata (illa) dan kata (Allah). Adapun secara bahasa bisa kita uraikan secara ringkas sebagai berikut :
- Laa adalah nafiyah lil jins (meniadakan keberadaan semua jenis kata benda yang datang setelahnya). Misalnya perkataan orang Arab, “Laa rojula fid dari” (tidak ada laki-laki dalam rumah) yaitu menafikan (meniadakan) semua jenis laki-laki di dalam rumah. Sehingga laa dalam kalimat tauhid ini bermakna penafian semua jenis penyembahan dan peribadahan yang haq dari siapapun juga kecuali kepada Allah .
- Ilah adalah mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul (obyek) sehingga dia bermakna ma`luh () yang artinya adalah ma’bud , sementara ma’bud sendiri bermakna yang diibadahi atau yang disembah. Hal itu karena (alaha) maknanya adalah ‘abada, sehingga makna ma’luh adalah ma’bud. Hal ini sebagaimana dalam bacaan Ibnu ‘Abbas terhadap ayat 127 pada surah Al-A’raf:
“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun): “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta ilahatahmu (peribadatan kepadamu)?”.
Ilahataka (ilahatahmu) yaitu peribadatan kepadamu, karena Fir’aun itu disembah dan tidak menyembah. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas memahami bahwa kata ilahah artinya adalah ibadah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Al-ilah adalah yang disembah lagi ditaati.” Dan Ibnu Al-Qayyim berkata, “Al-ilah adalah Siapa yang disembah oleh hati-hati para hamba dengan kecintaan, pengagungan, taubat, pemuliaan, pembesaran, kehinaan, kerendahan, takut, harapan, dan tawakkal.” Lihat Fath Al-Majid hal. 53
- Illa (kecuali). Pengecualian di sini adalah mengeluarkan kata yang terletak setelah illa dari hukum kata yang telah dinafikan oleh laa. Misalnya dalam contoh di atas laa rajula fid dari illa Muhammad (tidak ada seorang pun lelaki di dalam rumah kecuali Muhammad). Yakni Muhammad (sebagai kata setelah illa) dikeluarkan (dikecualikan) dari hukum sebelum illa, yaitu hukum peniadaan semua jenis laki-laki di dalam rumah. Sehingga maknanya adalah: Tidak ada satupun jenis laki-laki di dalam rumah kecuali Muhammad. Dan jika menerapkan hal ini dalam kalimat tauhid di atas, makna maknanya adalah: Hanya Allah yang diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah dinafikan oleh kata laa sebelumnya.
- Lafazh “Allah”, berasal dari kata al-Ilah (), Kemudian huruf hamzah yang berada di tengah sengaja dihilangkan untuk mempermudah membacanya, lalu huruf lam yang pertama diidhgamkan (digabungkan) pada lam yang kedua maka menjadilah satu lam yang ditasydid, dan lam yang kedua diucapkan tebal. Inilah pendapat yang dipilih oleh Al-Kasa`i, Al-Farra`, dan Sibawaih.
Adapun maknanya, berkata Al-Imam Ibnu Qoyyim dalam Madarij As-Salikin (1/18), “Nama ‘Allah’ menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan ma’luh (yang disembah) ma’bud (yang diibadahi). Seluruh makhluk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pengagungan, dan ketundukan”.
Lafazh ‘Allah’ adalah nama bagi Ar-Rabb Ta’ala, yang mana seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah yang lainnya kembali kepadanya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Al-Qayyim . Karenanya sangat agungnya nama ini, tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang dinamakan atau yang boleh bernama dengan nama ‘Allah’.
Kemudian dari perkara yang paling penting diketahui bahwa Laa ini -sebagaimana yang telah diketahui oleh semua orang yang memiliki ilmu bahasa Arab-membutuhkan isim dan khobar sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Malik dalam Alfiyahnya :
“Jadikan amalan inna (menashab isim dan merafa’ khobar) untuk laa bila isimnya nakirah”.
Isim laa adalah kata ilaha dan dia nakirah. Adapun khobarnya, maka disinilah letak perselisihan manusia dalam penentuannya, sebagaimana yang akan disebutkan sebagian di antaranya pada pembahasan mengenai pemaknaan yang keliru dari kalimat tauhid ini, insya Allah.
Adapun yang dipilih oleh para ulama as-salaf secara keseluruhan adalah bahwa khobarnya (dihilangkan), dan mereka menyatakan bahwa dia sengaja dihilangkan karena maknanya sudah jelas. Ringkasnya, para ulama as-salaf telah bersepakat bahwa yang kata yang dihilangkan -yang menjadi khabar bagi laa-adalah kata haqqun atau bihaqqin (yang berhak disembah). Mereka berlandaskan pada firman Allah Ta’ala dalam surah Luqman ayat 30:
“Yang demikian itu karena Allahlah yang hak (untuk disembah) dan apa saja yang mereka sembah selain Allah maka itu adalah sembahan yang batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. Dan mirip dengannya dalam surah Al-Hajj ayat 62.
Maka dari seluruh penjelasan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa makna kalimat tauhid ‘laa ilaaha illallah’ adalah: Tidak ada sembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah. Maka kalimat tauhid ini menunjukkan akan penafian/penolakan/peniadaan semua jenis penyembahan dan peribadatan dari semua selain Allah Ta’ala, apa dan siapapun dia. Serta penetapan bahwa penyembahan dan peribadahan dengan seluruh macam bentuknya -baik yang zhohir maupun yang batin-hanya ditujukan kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Oleh karena itu semua yang disembah selain Allah Ta’ala memang betul telah disembah, akan tetapi dia disembah dengan kebatilan, kezholiman, pelampauan batas, dan kesewenang-wenangan. Nabi bersabda:
“Kalimat yang paling benar yang dikatakan seorang penyair adalah kalimat yang dikatakan oleh Labid. Dia bersya’ir; “Segala sesuatu selain Allah adalah bathil”. (HR. Al-Bukhari no. 3841 dan Muslim no. 6147)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Al-Wushabi berkata di awal Al-Qaul Al-Mufid, “Makna ‘laa ilaha illallah’ adalah tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah. Dan selain Allah , jika dia disembah maka sungguh dia telah disembah dengan kebatilan.”
Ucapan Ulama Dalam Masalah Ini
Inilah makna yang dipahami oleh orang-orang Arab -yang mukmin maupun yang kafirnya- tatkala mereka mendengar perkataan laa ilaha illallah sebagaimana yang akan datang penjelasannya insya Allah Ta’ala.
Berikut sebagian perkataan para ulama yang menunjukkan benarnya makna yang kami sebutkan di atas:
- Imam negeri Yaman, Muhammad bin Ismail Ash-Shan’ani berkata dalam Tathhir Al-I’tiqad hal. 18, “Maknanya adalah mengesakan Allah dalam ibadah dan penyembahan, dan berlepas diri dari semua sembahan selain-Nya.”
- Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata di awal risalah dimana beliau menjawab pertanyaan tentang makna ‘laa ilaha illallah’, “Maka ketahuilah bahwa kalimat ini terdiri dari penafian dan penetapan, yaitu penafian sembahan dari selain Allah Ta’ala dari kalangan para makhluk, walaupun itu Muhammad dan juga Jibril, terlebih lagi dari selain mereka dari kalangan para nabi dan orang-orang saleh.”
Beliau juga berkata, “Maknanya (laa ilaha illallah) adalah tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah. ‘Laa ilaha’ adalah penafian semua yang disembah selain Allah, dan ‘illallah’ adalah penetapan ibadah hanya untuk Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam peribadatan kepada-Nya sebagaimana tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan-Nya.” (Syarh Tsalatsah Al-Ushul hal. 71)
- Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh berkata dalam Fath Al-Majid hal. 132, “Maka kalimat keikhlasan ‘laa ilaha illallah’ ini menafikan semua kesyirikan dalam ibadah apapun juga dan menetapkan ibadah dengan seluruh bentuknya hanya untuk Allah Ta’ala semata.”
- Al-Wazir Abu Al-Muzhoffar berkata dalam Al-Ifshah, “Lafazh “Allah” sesudah “illa” menunjukkan bahwasanya penyembahan wajib (diperuntukkan) hanya kepada-Nya, sehingga tidak ada (seorangpun) selain dari Allah I yang berhak mendapatkannya (penyembahan itu)”.
- Ibnu Al-Qayyim berkata, “Ini (laa ilaha illallah) adalah kalimat teragung, yang mengandung penafian sifat ilahiah (yang berhak disembah) dari selain Allah dan penetapan sifat khusus tersebut hanya untuk-Nya.”
- Ibrahim bin Umar Al-Baqa’i berkata, “Kalimat ‘laa ilaha illallah’ adalah penafian yang agung terhadap adanya sembahan yang berhak untuk disembah selain Al-Malil Al-A’zham (Raja Terbesar).”
Setelah menukil tiga ucapan terakhir di atas, Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan menukil komentar Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdillah atas ketiga ucapan tersebut, “Penafsiran seperti ini banyak ditemukan dalam ucapan para ulama dan dalam nukilan ijma’ dari mereka.” Lihat Fath Al-Majid hal.52-54
Rukun Kalimat Tauhid
Dari nukilan ucapan para ulama di atas, kita bisa mengetahui bahwa kalimat ‘laa ilaaha illallah’ mengandung dua rukun asasi yang harus terpenuhi sebagai syarat diterimanya syahadat seorang muslim yang mengucapkan kalimat tersebut:
Pertama: An-nafyu (penafian/penolakan/peniadaan) yang terkandung dalam kalimat ‘laa Ilaaha’. Yaitu menafikan, menolak, dan meniadakan seluruh sembahan yang berhak untuk disembah selain Allah , bagaimanapun jenis dan bentuknya dari kalangan makhluk. Baik yang masih hidup apalagi yang sudah mati, baik malaikat yang terdekat dengan Allah maupun rasul yang terutus, terlebih lagi makhluk yang derajatnya di bawah keduanya.
Kedua: Al-itsbat (penetapan) yang terkandung dalam kalimat ‘illallah’. Yaitu menetapkan seluruh ibadah baik yang lahir -seperti sholat, zakat, haji, dan menyembelih-maupun yang batin -seperti tawakkal, harapan, ketakutan, dan kecintaan-seluruhnya hanya untuk Allah semata. Baik yang berupa ucapan seperti zikir, membaca Al-Qur’an, berdoa dan sebagainya, maupun yang berupa perbuatan seperti ruku dan sujud sewaktu sholat, tawaf dan sa`i ketika haji dan lain-lain, semuanya hanya untuk Allah semata.
Maka syahadat seseorang belumlah benar jika salah satu dari dua rukun itu atau kedua-duanya tidak terlaksana. Misalnya ada orang yang hanya meyakini Allah itu berhak disembah (hanya menetapkan) tetapi juga menyembah yang lain atau tidak mengingkari penyembahan selain Allah (tidak menafikan). Maka dengan keyakinannya ini dia belumlah dianggap masuk ke dalam Islam, bahkan dia masih dikategorikan ke dalam orang-orang yang berbuat kesyirikan.
Berikut penyebutan beberapa ayat Al-Qur`an yang menerangkan dua rukun ‘laa ilaha illallah’ ini:
Allah berfirman:
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus”. (QS. Al-Baqarah: 256).
Allah berfirman:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. (QS. Az-Zukhruf : 26-27)
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”. (QS. An-Nisa`: 36)
Kaum Musyrikin Memahami Makna Ini
Inilah kesimpulan makna dari kalimat tauhid yang agung dan mulia ini. Makna inilah yang dipahami oleh para shahabat dan para ulama yang datang setelah mereka sampai hari ini. Bahkan makna inilah yang diyakini dan dipahami oleh kaum musyrikin Quraisy di zaman Nabi semisal Abu Jahl, Abu Lahab, dan selainnya. Allah berfirman tentang mereka:
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada sembahan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?”. (QS. Ash-Shaffat: 35-36)
Perhatikan jawaban mereka ketika disuruh mengucapkan kalimat tauhid! Mereka menjawab, “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami.” Maka ini jelas menunjukkan bahwa yang mereka pahami dari makna kalimat tauhid adalah harusnya meninggalkan semua sembahan selain Allah (an-nafyu).
Perhatikan juga komentar mereka tentang kalimat tauhid ini:
“Apakah dia (Muhammad) menjadikan sembahan-sembahan yang banyak itu menjadi sembahan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan”. (QS. Shad: 5)
Mereka lagi-lagi memahami bahwa makna dari kalimat tauhid ini adalah menetapkan bahwa hanya Allah sendiri yang berhak untuk disembah (al-itsbat).
Maka cermatilah kedua ayat ini -semoga Allah merahmatimu-, bagaimana jawaban kaum musyrikin tatkala diperintah mengucapkan kalimat tauhid, spontan mereka menolak karena sangat mengetahui apa makna dan konsekwensi kalimat ini. Yaitu harusnya meninggalkan semua sembahan mereka dan menjadikannya hanya satu sembahan yaitu hanya Allah . Maka betapa celakanya seseorang yang mengaku muslim yang Abu Jahl lebih tahu dan lebih faham tentang makna ‘laa ilaha illallah’ daripada dirinya. Wallahul musta’an.
Keutamaan Kalimat Tauhid
Sebelum kami menyebutkan beberapa keutamaannya, perlu kami ingatkan bahwa semua keutamaan tersebut tidaklah didapatkan oleh seseorang hanya dengan sekedar mengucapkan ‘laa ilaha illallah’. Akan tetapi dia akan mendapatkan semua keutamaan tersebut jika dia mengucapkannya serta melaksanakan konsekuensinya sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan sebelumnya. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata di awal risalah dimana beliau menjawab pertanyaan tentang makna ‘laa ilaha illallah’, “Bukan yang diinginkan dari kalimat tauhid ini adalah sekedar mengucapkannya tanpa memahami apa maknanya. Karena orang-orang munafik juga mengucapkan kalimat tauhid ini akan tetapi tempat mereka lebih rendah dari orang-orang kafir, yaitu di dasar neraka yang paling bawah, padahal mereka adalah orang-orang yang mengerjakan shalat dan bersedekah. Akan tetapi yang diinginkan darinya adalah mengucapkannya dalam keadaan mengetahuinya (makna dan konsekuensinya) dengan hati, mencintainya dan mencintai semua orang yang mengucapkannya, serta membenci dan memusuhi semua yang bertentangan dengannya.”
Berikut beberapa keutamaan dan manfaat dari kalimat ‘laa ilaha illallah’ -bagi yang mengucapkannya dengan benar dan melaksanakan konsekuensinya-:
Dari Ubadah dari Nabi beliau bersabda:
“Barang siapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak kecuali Allah satu-satunya dengan tidak menyekutukan-Nya dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya dan (bersaksi) bahwa ‘Isa adalah hamba Allah, utusan-Nya dan firman-Nya yang Allah berikan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan surga adalah haq (benar adanya), dan neraka adalah haq, maka Allah akan memasukkan orang itu ke dalam surga betapapun keadaan amalnya”. (HR. Al-Bukhari no. 3435 dan Muslim no. 46)
Dalam hadits Itban bahwa Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan neraka bagi orang orang yang mengucapkan dengan ikhlas dan hanya mengharapkan (pahala melihat) wajah Allah”. (HR. Al-Bukhari no. 425 dan Muslim no. 263)
Dari Ibnu Abbas dia berkata: Ketika Rasulullah mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda kepadanya:
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka kepada persaksian bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu pada setiap siang dan malam. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka sedekah yang diambil dari orang kaya mereka lalu dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut maka kamu jauhilah harta mulia mereka. Takutlah kamu terhadap doa orang yang terzhalimi, karena tidak ada penghalang antara dia dan Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 4347 dan Muslim no. 29)
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 37 bahwa Rasulullah bersabda:
“Barang siapa yang mengucapkan , dan mengingkari sesembahan selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, adapun perhitungannya adalah terserah kepada Allah”.
Maka dari semua dalil-dalil di atas bisa kita petik beberapa keutamaan kalimat tauhid ini:
1. Dia merupakan tujuan dakwah yang pertama dan terbesar, baik dakwah para nabi maupun para pengikut mereka dari kalangan para sahabat mereka dan pengikut mereka.
2. Dia merupakan sebab terbesar masuknya seseorang ke dalam surga. Karenanya barangsiapa yang mengucapkannya di akhir hidupnya maka dia akan masuk surga. dari Mu’adz bin Jabal , ia berkata; Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang akhir perkataannya (sebelum meninggal dunia) ‘laa ilaha illallah’ maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud no. 2709)
3. Dia bisa menghapuskan semua dosa, sebesar apapun dosanya. Di antara dalil terbesar yang menunjukkan hal ini adalah hadits al-bithaqah (kartu kecil) yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash .
4. Dia merupakan jaminan untuk tidak kekal di dalam api neraka, kalau ternyata seseorang masuk ke dalamnya.
5. Dia merupakan kalimat paling berberkah dan menjadi syarat seseorang masuk Islam.
Karenanya barangsiapa yang mengucapkannya maka dia mendapatkan hak seorang muslim, di antaranya bahwa harta, darahnya, dan kehormatannya haram untuk diganggu.
Wallahu Ta’ala A’lam, washallallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajmain.
(Majalah AKHWAT Vol.1/1431/2010)
================================================================
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul ‘Abbas Muhammad Ihsan)

Allah l dan Rasul-Nya n banyak menyebutkan keutamaan ilmu dan ahlul ilmi dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu syar’i.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata (Kitabul ‘Ilmi, hal. 13): “Yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu yang Allah l turunkan kepada Rasul-Nya n, berupa bayyinah (penjelas) dan huda (petunjuk). Maka, ilmu yang mengandung pujian dan keutamaan adalah ilmu wahyu, ilmu yang Allah l turunkan.
Nabi n bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah l kehendaki kebaikan baginya, niscaya Allah l akan menfaqihkan (menjadikan dia paham) akan agama.” (Muttafaqun ‘alaih dari Mu’awiyah z)
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Dan sungguh para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya (ilmu tersebut) berarti dia telah mengambil bagian ilmu yang banyak.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6298 dari Abud Darda’ z)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/434): “Tidaklah mewarisi dari para nabi kecuali para ulama. Maka merekalah pewaris para nabi. Merekalah yang mewarisi, ilmu, amal dan tugas membimbing umat kepada syariat Allah l.”
Oleh karena itu, termasuk perkara yang sangat penting untuk kita ketahui dan pahami adalah manzilah (kedudukan) ahlul ilmi yang mulia di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga kita bisa beradab terhadap mereka, menghargai mereka dan menempatkan mereka pada kedudukannya. Itulah tanda barakahnya ilmu dan rasa syukur kita dengan masih banyaknya para ulama di zaman ini.
Dari Abu Hurairah z, dari Nabi n, beliau bersabda:
لاَ يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidaklah bersyukur kepada Allah l, orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Asy-Syaikh Muqbil t dalam Ash-Shahihul Musnad (2/338) berkata: Ini adalah hadits shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan juga oleh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 416, dari Al-Asy’ats bin Qais z)

Di antara keutamaan ahlul ilmi adalah sebagaimana berikut:
1. Ahlul ilmi adalah orang yang berkedudukan tinggi di dunia dan akhirat.
Allah l berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)
Rasulullah n bersabda:
يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابَ قَوْمًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Dia (Allah) akan meninggikan derajat suatu kaum dengan kitab ini, dan akan menghinakan dengannya pula kaum yang lain.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata dalam tafsirnya: “Allah l akan mengangkat ahlul ilmi dan ahlul iman beberapa derajat, sesuai dengan apa yang Allah l khususkan kepada mereka (berupa ilmu dan iman).”

2. Ahlul ilmi adalah ahlul khasyyah (orang-orang yang takut) dan ahlut taqwa (orang yang bertakwa).
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Rasulullah n bersabda:
وَاللهِ، إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan yang paling bertakwa kepada-Nya. Namun aku berpuasa dan berbuka, aku shalat malam dan aku tidur, dan akupun menikahi para wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, dia bukan termasuk golonganku.” (Muttafaqun ‘alaih dari Anas bin Malik z)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Setiap orang yang lebih berilmu tentang Allah l, dialah orang yang lebih banyak takut kepada-Nya. Rasa takut kepada Allah l tersebut mengharuskan dia menahan diri dari kemaksiatan dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Dzat yang dia takuti. Dan ayat ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, karena ilmu itulah yang mendorong untuk takut kepada Allah l.”
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata: “Hanya saja yang takut kepada Allah l dengan rasa takut yang sebenarnya, adalah para ulama yang mengenal Allah k. Karena, tatkala semakin sempurna ma’rifah (pengenalan) terhadap Dzat Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Memiliki sifat-sifat yang sempurna dan nama-nama yang berada pada puncak kebaikan, maka rasa takut kepada-Nya pun semakin besar dan sempurna. Ahmad bin Shalih Al-Mishri meriwayatkan dari Ibnu Wahb, dari Malik t, dia berkata: ‘Sesungguhnya ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat. Hanya saja ilmu itu adalah nur (cahaya) yang Allah l masukkan ke dalam hati.’ Ahmad bin Shalih berkata: ‘Maknanya, khasyah (rasa takut) itu tidak didapatkan dengan banyaknya riwayat. Hanya saja (yang menyebabkan khasyah) adalah ilmu yang Allah l wajibkan untuk diikuti, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah, serta apa yang datang dari para sahabat g, serta para imam kaum muslimin dari generasi setelah mereka. Maka hal ini tidak didapatkan kecuali dengan riwayat. Sehingga makna pernyataan Al-Imam Malik bahwa ilmu itu adalah nur (cahaya), maksudnya adalah pemahaman terhadap ilmu tersebut dan pengetahuan tentang makna-maknanya.”

3. Ahlul ilmi adalah orang yang paling peduli terhadap umat.
Allah l berfirman:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110)
Dari Jabir bin Abdillah z, berkata Rasulullah n bersabda:
مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَ الْجَنَاذِبُ وَالْفِرَاشُ يَقَعْنَ فِيْهَا وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا، وَأَنَا آخُذُ بِحُجَزِكُمْ عَنِ النَّارِ وَأَنْتُمْ تُفَلَّتُونَ مِنْ يَدِي
“Permisalanku dan permisalan kalian adalah seperti seseorang yang menyalakan api, kemudian mulailah serangga kecil dan kupu-kupu menjatuhkan diri kepada api tersebut. Padahal orang itu senantiasa menghalau hewan-hewan itu darinya. Akupun menahan pinggang kalian dari api neraka dalam keadaan kalian berusaha melepaskan diri dari kedua tanganku.” (HR. Muslim)
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi t berkata (Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits, hal. 168): “Para ulama itu lebih belas kasihan terhadap umat Muhammad n daripada bapak-bapak dan ibu-ibu mereka.” Ditanyakan kepadanya: “Bagaimana demikian?” Dia menjawab: “Bapak-bapak dan ibu-ibu mereka menjaga mereka dari api di dunia, sedangkan para ulama menjaga mereka dari api di akhirat.”
Al-Hasan Al-Bashri t berkata: “Kalau tidak ada para ulama, sungguh umat manusia akan menjadi seperti binatang.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata dalam kitabnya Ar-Radd ‘ala Zanadiqah wal Jahmiyyah: “Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan pada setiap masa yang kosong dari para rasul, segolongan ahlul ilmi yang masih tersisa. Mengajak orang yang tersesat kepada petunjuk, dalam keadaan sabar terhadap gangguan mereka. berusaha menghidupkan orang-orang yang mati1 dan menjadikan orang-orang yang buta (hatinya) bisa melihat kebenaran dengan nur dari Allah l. Betapa banyak orang yang telah dibinasakan oleh Iblis (dengan syubhat dan syahwat), namun sungguh mereka berhasil menghidupkannya (dengan Al-Kitab dan As-Sunnah). Betapa banyak orang yang tersesat, mereka beri petunjuk. Duhai, alangkah bagusnya kepedulian ulama terhadap umat. Namun, alangkah jeleknya sikap mereka terhadap ahlul ilmi.”

4. Asingnya ahlul ilmi di kalangan umat merupakan alamat kebinasaan umat.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash c, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءَ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ  فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari umat manusia dengan sekali cabut. Akan tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga bila Dia tidak menyisakan seorang alim pun (sampai) umat manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka. Maka mereka (para pemimpin itu) ditanya, lalu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka sesat dan menyesatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/438): “Tatkala hal tersebut terjadi, Islam hakiki yang terbangun di atas Al-Kitab dan As-Sunnah tidak akan didapatkan, karena para ahlinya sungguh telah diwafatkan.”

5. Ahlul ilmi adalah ahlul bashirah (orang yang memiliki ilmu yang mantap), sehingga mampu mengetahui akan terjadinya fitnah di awal mula munculnya fitnah.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata dalam Tahdzirul Basyar (hal. 29-30): “Ketahuilah, orang yang paling mampu mengetahui kejelekan dari awal munculnya adalah para pewaris nabi, yakni para ulama yang beramal dengan dua wahyu (Al-Kitab dan As-Sunnah), dan benar-benar paham terhadap keduanya.”
Allah l mengabarkan tentang perbuatan Qarun yang melampaui batas dan umat pada masa itu terfitnah dengannya. Allah l sebutkan pula bagaimana sikap ahlul ilmi terhadap hal itu.
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar’.” (Al-Qashash: 79)
Ini adalah sikap kebanyakan orang, yaitu berangan-angan memiliki harta yang banyak seperti Qarun. Adapun sikap ahlul ilmi, Allah l kisahkan:
“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: ‘Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar’.” (Al-Qashash: 80)
Tatkala Allah l benamkan Qarun berikut hartanya ke dalam bumi, barulah berubah sikap mayoritas umat tersebut.
Oleh karena itu, Al-Hasan Al-Bashri t berkata: “Apabila fitnah itu baru muncul, para ulama mengetahuinya. Ketika fitnah itu telah berlalu, barulah umat menyadarinya.”
Sesungguhnya umat bisa mengetahui fitnah di awal munculnya, apabila mereka kembali (bertanya) kepada para ulama, bukan bertanya kepada orang menyerupai mereka. Perhatikanlah sikap para tabi’in ketika muncul fitnah Qadariyyah. Mereka bertanya kepada para sahabat g yang masih hidup pada masa itu, seperti Ibnu ‘Abbas c, Ibnu ‘Umar c, dan lainnya.

6. Ahlul ilmi adalah rujukan umat dan pembimbing mereka ke jalan yang benar.
Allah l berfirman:
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiya’: 7)
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalaulah mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa`: 83)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata dalam tafsirnya:
“Ini adalah pelajaran adab dari Allah l bagi hamba-hamba-Nya tentang sikap dan perbuatan mereka yang tidak pantas. Seharusnya, apabila datang kepada mereka berita penting yang terkait dengan kepentingan umat, seperti berita keamanan dan hal-hal yang menggembirakan orang-orang yang beriman, atau berita yang mengkhawatirkan/ menakutkan, yang di dalamnya ada musibah yang menimpa sebagian mereka, hendaknya mereka memperjelas terlebih dahulu akan kebenarannya dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Namun hendaknya mereka mengembalikan hal itu kepada Rasul n (semasa beliau masih hidup) dan kepada ulil amri, yaitu orang yang ahli berpendapat, ahli nasihat, yang berakal (para ulama). Mereka adalah orang-orang yang paham terhadap berbagai permasalahan dan memahami sisi-sisi kebaikannya bagi umat, sekaligus mengetahui hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka.
Apabila mereka melihat sisi kebaikan, motivasi yang baik bagi orang-orang yang beriman dan menggembirakan mereka bila berita tersebut disebarkan, atau akan menumbuhkan kewaspadaan mereka terhadap musuh-musuhnya, tentu mereka akan menyebarkannya (atau memerintahkan untuk menyebarkan).
Apabila mereka melihat (disebarkannya berita tersebut) tidak mengandung kebaikan, atau dampak negatifnya lebih besar, maka mereka tidak akan menyebarkannya.”
Karena demikian agung dan mulianya kedudukan ahlul ilmi –yaitu para ulama– menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, sudah semestinya umat menghormati dan memuliakan mereka. Juga kembali kepada mereka dalam menghadapi berbagai problematika, mempelajari agama ini dengan bimbingan mereka, khususnya di masa yang penuh dengan fitnah ini. Tidak ada jalan yang selamat kecuali kita merujuk kepada ahlul ilmi.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata dalam At-Tanbihul Hasan (hal. 33): “Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang senantiasa berusaha menghadang dakwah ke arah bid’ah dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang. Mereka adalah orang-orang yang selalu menyampaikan kebenaran yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang mana generasi salafush shalih berjalan di atasnya. Adapun orang yang tidak mau merujuk kepada mereka, maka:
1. Mungkin dia adalah orang yang mengatakan bahwa semuanya itu baik. Maksudnya, Ahlus Sunnah, ahlul bid’ah, hizbiyyun (orang yang fanatik terhadap golongannya) adalah sama. Sehingga, hakikatnya dia menyamakan antara yang haq dengan yang batil.
2. Atau mungkin dia adalah orang yang berusaha menggiring umat kepada salah satu kelompok bid’ah atau hizbiyyah. Sekaligus berusaha memerangi dakwah yang haq. Dia berjalan dalam perkara tersebut sebagaimana yang diinginkan oleh induknya.2
Adapun orang yang kembali kepada ahlul ilmi, para ulama ahlul hadits, maka dia akan selamat dengan pertolongan Allah l, insya Allah.
Wallahu a’lam.

1 Yakni mati hatinya, disebabkan terjatuh dalam kesyirikan, bid’ah, dan kemaksiatan. -pen
2 Seperti Sururiyyah, Quthbiyyah, dan yang lainnya, yang induknya adalah Ikhwanul Muslimin.
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 045
=================================================================
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)

“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…” (Al-Mujadilah: 11)
Mengenal Beberapa Makna Sebagian Mufradat Ayat
“Allah meninggikan” maknanya Allah mengangkat. Yaitu mengangkat kaum mukminin di atas selain kaum mukminin dan mengangkat orang yang berilmu di atas orang yang tidak berilmu.
“orang-orang yang diberi ilmu”, yang dimaksud ilmu di dalam ayat ini adalah ilmu syar’i. Sebab dengannyalah seseorang akan mendapatkan keterangan dalam mengamalkan agamanya berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
“Beberapa derajat”. Al-Qurthubi t berkata: yaitu derajat di dalam agama ketika mereka melaksanakan apa yang diperintahkan.
Tafsir Ayat
Ayat Allah U yang mulia ini menjelaskan keutamaan para ahli ilmu dan orang-orang yang senantiasa menuntut ilmu agama. Di samping karena keimanan yang mereka miliki, mereka juga diangkat derajat dan kedudukannya oleh Allah karena bertambahnya ilmu agama mereka, yang menjadikannya semakin jauh dari kejahilan dan mendekatkan kepada keridhaan Allah U.
Berikut beberapa penafsiran para ulama tentang tafsir ayat ini:
- Ath-Thabari t berkata: Allah U mengangkat kaum mukminin dari kalian wahai kaum, dengan ketaatan mereka kepada Rabb mereka. Maka (mereka taat) pada apa yang diperintahkan kepada mereka untuk melapangkan (majelis) ketika mereka diperintahkan untuk melapangkannya. Atau mereka bangkit menuju kebaikan apabila diperintahkan mereka untuk bangkit kepadanya. Dan dengan keutamaan ilmu yang mereka miliki, Allah U mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dari ahlul iman (kaum mukminin) di atas kaum mukminin yang tidak diberikan ilmu, jika mereka mengamalkan apa yang mereka diperintahkan.” Lalu beliau menukilkan beberapa perkataan ulama salaf, di antaranya Qatadah t, beliau berkata: “Sesungguhnya dengan ilmu, pemiliknya memiliki keutamaan. Sesungguhnya ilmu memiliki hak atas pemiliknya, dan hak ilmu terhadap kamu, wahai seorang alim, adalah keutamaan. Dan Allah memberikan kepada setiap pemilik keutamaan, keutamaannya.” (Tafsir Ath-Thabari, juz 28 hal.19)
Antara Ilmu dan Ibadah
Menuntut ilmu juga merupakan jenis ibadah. Namun ilmu merupakan jenis ibadah yang memiliki nilai dan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan jenis ibadah lainnya. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah r:
“Keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan ibadah. Dan kunci agama adalah bersikap wara’ (meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan memudharatkan di akhirat, pen).” (Diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Abu Nu’aim, Al-Hakim, dll, dari hadits Hudzaifah ibnul Yaman. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Qais bin’ Amr Al-Mula’i, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4214. Lihat pula Shahih Jami’ Bayan Al-‘Ilmi Wa Fadhlihi no. 27)
Hadits ini menjelaskan demikian mulianya ilmu dan penuntut ilmu. Ini disebabkan karena seorang yang berilmu kemudian mengajarkan ilmunya, mendakwahkannya, hingga Allah memberikan hidayah kepada orang lain dengan sebab dakwahnya, maka menjadi salah satu amal jariyah baginya. Selama ada yang mengamalkan ilmunya tersebut, maka dia akan terus mendapatkan pahala dari Allah U walaupun dia telah meninggal. Berbeda dengan orang yang mengerjakan shalat sunnah dan semisalnya, tidak ada yang merasakan manfaatnya kecuali hanya dirinya sendiri.
Ishaq bin Manshur t berkata: “Aku bertanya kepada Al-Imam Ahmad tentang perkataannya: Mudzakarah (mengulang-ulangi) ilmu pada sebagian malam lebih aku senangi daripada menghidupkannya (dengan qiyamul lail). Ilmu apakah yang dimaksud?” Beliau menjawab: “Yaitu ilmu yang memberi manfaat kepada manusia dalam perkara agamanya.” Aku bertanya lagi: “Dalam hal (cara) berwudhu’, shalat, puasa, haji, talak, dan semisalnya?”. Beliau menjawab: “Iya.” (Shahih Jami’ Al-Bayan, 30/45)
Dan berkata pula Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi: Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata:
“Menuntut ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Shahih Jami’ Al-Bayan, 31/48)
Sufyan Ats-Tsauri t berkata: “Aku tidak mengetahui ada satu ibadah yang lebih afdhal daripada seseorang yang mempelajari ilmu.” (Shahih Jami’ Al-Bayan, 46/78)
Kemuliaan  Para Ulama
Ayat Allah I ini menjelaskan demikian tingginya derajat dan kedudukan para ulama di atas yang lainnya. Dan merekalah orang-orang yang senantiasa mendapatkan kemuliaan di sisi Allah I dan juga di kalangan manusia. Di dalam ayat yang lain Allah I berfirman:
“Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki.” (Yusuf: 76)
Al-Imam Malik t ketika menafsirkan ayat ini berkata: “Yaitu dengan ilmu.” (dikeluarkan Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ul Bayan. Lihat Madarikun Nazhar hal. 36)
Zaid bin Aslam t berkata dalam menafsirkan firman Allah U:
“… Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain), dan Kami berikan Zabur (kepada Dawud).” (Al-Isra: 55)
kata beliau: “yaitu dengan ilmu.” (Shahih Jami’ Al-Bayan, 46/79).
Diberitakan oleh Asy’ats bin Syu’bah Al-Misshishi bahwa beliau berkata: Suatu hari Harun Ar-Rasyid pergi ke Raqqah, maka berlalu gerombolan manusia di belakang Abdullah ibnul Mubarak, terputuslah sandal-sandal, debu-debu bertebaran. Lalu salah seorang budak wanita Amirul Mukminin melongok dari dalam istana, lalu bertanya: “Siapa ini?” Mereka menjawab: “Seorang alim dari Khurasan telah datang.”
Berkatalah sang budak: “Demi Allah, inilah kerajaan sebenarnya, bukan kerajaan milik Harun yang mengumpulkan manusia dengan tentaranya dan para pembantunya.” (Siyaru A’lam An-Nubala, Adz-Dzahabi, 8/384)
Wallahi, inilah kemuliaan yang sebenarnya. Dan bukanlah kemuliaan ketika seseorang diberikan pundi-pundi harta kekayaan, atau jabatan yang menjadi incaran, atau partai-partai yang menjadi dambaan, atau duduk di kursi DPR/MPR , dengan dalih “menegakkan syariat Islam”, “merintis khilafah Islam”, dan propaganda lainnya.
Katakanlah kepada mereka: “Wahai orang-orang yang muflis (bangkrut), bagaimanapun pandainya kalian dalam menata organisasi dan partai kalian, menyelenggarakan berbagai macam kegiatan hizbiyyah kalian, menjaga diri dari berbagai makar dan tipu daya syaithan, kalian tidaklah mungkin mendapatkan kemuliaan dan keagungan hingga kalian menjadikan amalan kalian di atas ilmu, mengenal keutamaan ilmu, dan ahli ilmu.” (Lihat Madarikun Nazhar, hal. 36)
Suatu hal yang mustahil bagi mereka yang ingin menegakkan syariat Islam, mendirikan khilafah Islamiyah, namun menempuhnya dengan cara-cara yang batil, dengan membentuk partai, masuk ke dalam parlemen, menundukkan dirinya di hadapan demokrasi yang thaghut, dan tidak membangun segala aktivitasnya di atas ilmu yang haq dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah r. Sungguh mereka hanyalah mencari sesuatu yang bersifat fatamorgana, sebagaimana sebuah syair:
Kalian mengharapkan keselamatan namun tidak menempuh jalan-jalannya
Sesungguhnya kapal tidak akan berlayar di atas tempat yang kering
Al-Hasan Al-Bashri t berkata: “Di antara tanda berpalingnya Allah dari hamba-Nya adalah dia menjadikan sibuk terhadap apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (At-Tamhid, Ibnu Abdil Bar. Lihat Madarikun Nazhar, hal. 444)
Dengan ilmulah seseorang akan mendapatkan kemuliaan dunia sebelum akhirat. Sebagaimana Allah I telah memilih Thalut untuk memimpin Bani Israil, firman-Nya:
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.’…” (Al-Baqarah: 247)
Di dalam Shahih Muslim dari ‘Amir bin Watsilah bahwa Nafi’ bin Abdil Harits bertemu ‘Umar di ‘Usfan. Ketika itu ‘Umar mengangkatnya sebagai gubernur di Makkah. Kemudian ‘Umar bertanya: “Siapa yang engkau angkat jadi pemimpin daerah lembah?” Beliau menjawab: “Ibnu Abza.” (‘Umar) bertanya: “Siapa Ibnu Abza?” Beliau menjawab: “Dia adalah salah satu bekas budak kami.” (‘Umar) bertanya: “Engkau jadikan yang memimpin mereka dari kalangan maula (bekas budak)?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya dia mempunyai ilmu tentang kitab Allah U dan alim dalam ilmu warisan.” ‘Umar berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Nabimu r telah bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengangkat (derajat) sebagian kaum dengan kitab ini (Al Qur’an), dan dengannya Allah merendahkan yang lainnya.”
Ahmad bin Ja’far bin Muslim t berkata: Aku mendengarkan Abbar berkata: Ketika aku berada di Al-Ahwaz, aku melihat ada seorang laki-laki yang telah mencukur habis kumisnya,-(Ahmad bin Ja’far berkata) aku menyangka dia berkata- dia telah membeli beberapa kitab dan siap menjadi seorang mufti. Lalu disebutkan kepadanya ashabul hadits, maka dia menjawab: “Mereka tidak ada apa-apanya, mereka tidak memiliki apa-apa.” Aku pun berkata (kepadanya): “Engkau tidak pandai mengerjakan shalat.” Dia berkata: ‘Aku?’. Aku menjawab: ‘Iya, apa yang engkau hafal dari Rasulullah r ketika engkau membuka shalatmu dan mengangkat kedua tanganmu?’ Maka dia terdiam. Aku pun bertanya kembali: ‘Apa yang engkau hafal dari Rasulullah r tatkala engkau sujud?’. Dia kembali terdiam. Aku berkata: ‘Bukankah aku telah mengatakan engkau tidak pandai mengerjakan shalat? Maka janganlah engkau menjelekkan ashabul hadits.” (Siyaru A’lam An-Nubala, Adz-Dzahabi, 13/444)
Ulama adalah Para Mujahid
Allah  telah menjadikan orang-orang yang menuntut ilmu sebagai salah satu bagian dalam jihad fi sabilillah. Firman-Nya:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah:122)
Abu Darda z berkata: “Barangsiapa yang menganggap bahwa berangkatnya seseorang mencari ilmu itu bukan jihad, maka sungguh dia kurang akal dan fikiran.” (Lihat Shahih Jami’ Al Bayan, 35/56)
Terhadap merekalah kaum muslimin diperintahkan untuk merujuk kepadanya ketika mereka menghadapi berbagai macam problem dan masyakil di dalam agama mereka. Baik masalah bersuci, shalat, puasa, zakat, jihad, maupun persoalan-persoalan kontemporer (fiqh nawazil) dan lain sebagainya. Barangsiapa yang membagi para ulama menjadi dua: ulama dalam urusan jihad dan ulama mengurusi selain jihad, maka sungguh dia telah terjerumus dalam kebatilan yang nyata.
Al-Albani t berkata: “Jika sekiranya sikap memberontak terhadap pemerintah mendatangkan kejahatan yang telah dijelaskan oleh nash-nash syar’i yang saling menyatu, disertai dengan berbagai kejadian yang nyata, sebagaimana yang nampak dari hasil perbuatan para ahli bid’ah di setiap zaman. Maka lebih jahat lagi adalah orang-orang yang keluar dari para ulamanya dengan menjatuhkan hak-hak mereka, dan tidak bersandar kepada fatwa-fatwa mereka kecuali yang sesuai dengan hawa nafsu para haraki (Ikhwanul Muslimin, pen) dan meremehkan kedudukan mereka dalam hal (menyikapi) politik, dan melontarkan tuduhan kepada mereka dengan istilah “ulama di rumah wudhu”, dan gelar-gelar semisalnya yang diwarisi oleh para ahlul bid’ah yang hina dari yang hina, yang ditujukan kepada para ulama salafiyyin yang mulia kepada yang mulia. Dan hal ini berarti menggugurkan syariat dengan mencerca para saksi dan pembawanya. Dan Allah akan memenuhi janjinya.” (Madarikun Nazhar, hal. 227-228)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar